Pacaran sudah menjadi gaya hidup bagi usia remaja dan dewasa. Bahkan melalui kabar berita kita dibuat elus dada, karena gaya hidup ini sudah masuk ke dunia anak-anak sekolah dasar. Bayangkan seorang anak yang mencari uang saja belum bisa, namun sudah berani saling mencintai lantas apa yang terjadi? Jauh dari bayang berpikir menuju ke pernikahan. Usia yang memang seharusnya menghabiskan waktu dengan bermain, jadi wajar pacaran hanya jadi ajang permainan.
Gawatnya lagi, gaya hidup pacaran ini sudah merambah ke mahasiswa, santri, aktivis dakwah dan jama’ah majelis ta’lim di kalangan muda. Apa jadinya kaum berpendidikan yang seharusnya menjadi lampu penerang. Malah ikut menjadi pemadam cahaya kebenaran melalui tingkahnya. Di sisi lain, guru-guru, asaatidz, murabbi atau pembimbing mereka sudah mati-matian menentang untuk sang murid tidak terkena jebakan setan ini. Namun apa daya, sang murid sendiri yang menjadi boomerang bagi guru-guru mereka. Kajian dan pengajiannya mereka buru tapi aplikasi ilmunya entah kemana. Inikah yang disebut sebagai cinta kepada guru dan ilmu?
Mirisnya lagi, di lapangan kita temui banyak fakta bahwa guru-gurunya sendiri yang merajut hubungan haram tersebut tanpa merasa berdosa. Sedangkan dengan lantang berkoar melarang pacaran, lupa dengan dirinya yang masih demikian.
Ketika diserukan padanya, “PUTUSIN!!!” Mereka berkilah, “Ini demi dakwah!”. Ada lagi yang berargumen, “Saya tidak mau menyakiti hati seseorang, itu terlarang!!!” dan masih banyak lagi sederet alasan yang tak akan ada habisnya untuk mentolelir hubungan tersebut.
Sialnya, banyak yang manggut-manggut kepala menyetujui jawaban basi mereka. Demi Dzat yang Maha Suci, inilah yang harus kita tangisi. Ketidakmampuan untuk berjauhan dengan perbuatan dosa. Tidak berdayanya diri berontak mengakui kebenaran yang ada. Maka betapa banyak orang jadi anti mengaji karena tingkah laku mereka ini. Lantas apa bedanya kita yang sudah mengaji dengan mereka yang belum?
Qarun Baru Terlahir Kembali
Memangnya ada di bagian mana kebolehan pacaran?
Sehingga dengan entengnya kita menjalin hubungan status ini santai-santai saja. Malah ada yang merasa bangga karena pacarnya anak pengajian, ketua remaja masjid, alumni pesantren yang pandai baca kitab kuning, pemain hadroh, anak ustadz dan sederet jabatan atau prestasi yang mentereng lainnya.
Masih ada yang ingat dengan kisah Qarun?
Mari sebentar kita belajar dari manusia yang hidup sezaman dengan zaman Nabi Musa ini. Ketika kamu mendengar nama Qarun, apa yang terlintas?
Sombong, pelit, kaya raya, di telan bumi, terus? Sudahlah ya, itu saja cukup.
Qarun disebut sombong karena ia memiliki segudang ilmu namun tanpa pengamalan. Asal tahu saja, Qarun bukan orang bodoh seperti yang kita kira.
Qarun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”.
Imam Jalaluddin di dalam Tafsir Jalalain menjelaskan bahwa Qarun merupakan orang kedua yang paling menguasai kitab Taurat setelah Nabi Musa. Bayangkan betapa dekatnya Qarun pada kitab suci. Ia bukan hanya meguasai, pula hafal isinya. Jadi Qarun bukan orang sembarang. Ia ialah orang berilmu.
Nah, jangan-jangan kita masih sama seperti Qarun. Sudah tahu hukum pacaran itu haram tapi masih dibela–belain demi tidak kehilangannya. Seperti Qarun, tahu menyimpan harta benda tanpa disedekahi dan dizakati ialah terlarang tapi masih enggan untuk berbagi. Karena ada rasa memiliki sehingga betapa berat untuk melepaskan hartanya.
Qarun-Qarun baru telah lahir kembali, semoga saja itu bukan kita. Pada akhirnya, Qarun ditelan bumi beserta isi-isinya. Jangan sampai kita mati masih mebawa cinta yang berselimut status pacaran.
Jadi bukan tidak boleh rajin mengaji, itu bagus malah harus terus dijaga. Tapi jauh akan lebih merekah dan indah, saat kita mampu menjadi pemburu dan pengamal ilmu. Agar kita beda dengan Qarun, tak sama dengan mereka yang tidak mengaji.
Sumber foto: www.surabayapagi.com